DENGAN banyak menari di berbagai panggung, baik di dalam
negeri maupun luar negeri, tanpa terasa penari dan koreografer S Kardjono (60)
telah mempopulerkan kekayaan tradisi seni tari Jawa klasik gaya Yogyakarta
berikut tradisi seni suaranya yakni nembang. Pementasan Drama Tari Golek Menak
Kelaswara Senapati -demikian judul koreografi terbaru S Kardjono ini- di
panggung Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta pertengahan
bulan September lalu ikut membuktikan itu.
Dari keseluruhan antawecana (dialog) dalam pergelaran tari
sepanjang hampir 90 menit ini, tujuh puluh persen di antaranya secara menawan
mampu dibawakan oleh para penarinya dengan cara nembang. Lebih menarik lagi,
ternyata banyak penari pendukung pergelaran Kelaswara Senapati ini mengaku
sudah tidak tahu lagi atau bahkan sama sekali asing dengan bahasa Jawa.
Theresia Maria Sulistyowati (16), siswi kelas II SMU St
Ursula Jakarta dan pemeran tokoh Thersianah dalam pergelaran ini, sampai
mengatakan: "Pokoknya asyik aja bisa menari sembari nembang. Padahal
sehari-hari saya hanya bisa omong bahasa Indonesia, hanya satu-dua kata bahasa
Jawa saya ketahui."
"Dari waktu lima bulan lamanya untuk mempersiapkan
pementasan ini, dua bulan lebih habis saya gunakan untuk melatih kemampuan
vokal para penarinya. Yang membuat saya semakin bersemangat, di luar dugaan
banyak penari muda asal Jakarta dan tidak berasal dari latar belakang budaya
Jawa justru menaruh minat besar terhadap tradisi nembang ini," ungkap S
Kardjono di Jakarta akhir pekan lalu.
Jauh ke belakang, rupanya ambisi S Kardjono mempopulerkan
tetembangan itu muncul begitu saja ketika di tahun 1990 silam ia menyaksikan
se-kelompok orang asing di Avignon (Perancis) tampak bersemangat minta
kepadanya agar diajari nembang.
"Itu terjadi di tengah acara Festival Ramayana di
Avignon dan setahun kemudian terjadi lagi di Sidney Opera Theatre ketika saya
mengadakan pelatihan tentang tari, tembang, dan karawitan. Sementara banyak
orang asing mulai menyukai tembang-tembang Jawa dan dengan nada merengek-rengek
minta diajari nembang, masak orang kita sendiri tak tertarik ingin
mempelajarinya?" ungkap S Kardjono yang sejak umur lima tahun telah
mengakrabi dunia tari Jawa klasik gaya Yogyakarta dan tradisi nembang ini.
Tak heran demi pergelaran Kelaswara Senapati yang didominasi
dengan tetembangan ini, S Kardjono rela menghabiskan separuh waktu persiapan
yang tersedia hanya khusus untuk melatih nembang bagi sekalian para penari
pendukung pementasan itu.
"Pertama-tama saya menekankan agar para penari saya
terlebih dahulu harus mau belajar nembang (menyanyi) secara benar, baru
kemudian diajari tembangane (nyanyiannya). Prinsip sama juga berlaku dalam
tarian, yakni orang harus mau belajar terlebih dahulu bagaimana bisa menari dengan
benar alias ajar njoget (belajar menari) untuk kemudian baru bisa belajar
bagaimana membawakan tarian itu secara baik dan berkualitas alias ajar jogetane
(belajar tariannya)," katanya bicara soal pedagogi mengajar banyak anak
muda Ibu Kota yang menyukai tari Jawa klasik gaya Yogyakarta berikut tradisi
seni suaranya.
***
TARI-menari dan tetembangan rupanya sudah menjadi dunia
keseharian S Kardjono sejak menghabiskan masa kanak-kanaknya di nDalem
Wirogunan, Yogyakarta. "Lingkungan sekitar rumah secara tak langsung telah
ikut membentuk saya hingga sejak usia dini mulai menggemari tarian Jawa klasik
gaya Yogyakarta dan sekalian tetembangan-nya," ungkap kakek dua cucu
kelahiran Brontokusuman, Wetan Beteng, Yogyakarta, 30 September 1940 ini.
Dari semula belajar menari dengan pamannya sendiri yakni KRT
Djojowinoto --seorang penari Kraton pemeran tokoh Ontorejo era pemerintahan
Hamengku Buwono VII-- akhirnya sejak tahun 1950 S Kardjono resmi menimba ilmu
tari di Perkumpulan Kesenian Tari dan Karawitan Krida Beksa Wirama Yogyakarta.
"Dua guru saya waktu itu adalah mendiang Basuki
Kuswaraga dan Gusti Pangeran Haryo Tedjokoesoema. Setahun kemudian, inilah
penampilan saya pertama kali di depan publik sebagai penari di Pura
Mangkunegaran Surakarta saat berlangsung perkawinan agung GRA Nurul dengan
Letkol Suryo Surarso," ungkap penari Istana Yogyakarta kurun tahun
1955-1959 ini.
Kematangan S Kardjono sebagai koreografer teruji ketika
fragmen tarinya Mendut Pranacitra dan Klono Panca Tunggal mampu memukau
publik-termasuk Presiden Soekarno-yang di tahun 1964 menghadiri Kongres
Persatuan Sarjana Hukum Indonesia (Persahi) di Kepatihan Yogyakarta.
"Waktu itu hati saya senang sekali..." kenang peraih juara pertama
lomba nyanyi seriosa antarpelajar se-DIY tahun 1960 silam yang kini sering
diminta nyanyi dan menarikan cucuk lampah (penari yang bergerak paling depan
diiring iringan pengantin) di banyak upacara pernikahan ini.
Di Yogyakarta dan selama kurun waktu itu pula ia sering ikut
tampil di berbagai forum nasional dan internasional, sebelum akhirnya mulai
tahun 1968 hijrah ke Jakarta. Setahun kemudian dan seiring dimulainya kegiatan
di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, dia mulai aktif menggiatkan kegiatan
seni tari bersama sejumlah seniman tangguh yakni Sardono W Kusumo, Sentot
Sudiarto, Farida Oetojo, I Wayan Diya, Huriah Adam (alm), dan Titi Qadarsih.
Kurun waktu inilah berbagai karya kolaborasi lahir. Lihat
misalnya Samgita Pancasona (1969) dan Ngrenaswara (1972) yang dikerjakan S
Kardjono bersama Sardono W Kusumo; lalu Semar Boyong (1969), hasil karyanya
bersama mendiang Danisworo; Wayang Orang Menak Cina (1973) dan Langen Mandra
Wanara dengan lakon Sugriwa Subali (1975) dan Drama Tari Topeng berlakon Joko
Penjaring (1977) bersama mendiang Basuki Kuswaraga, Dewi Sri (1976) bersama
Retno Maruti, Sardono W Kusumo, dan Sentot Sudiarto; drama tari Roro Jonggrang
(1977) bersama Ngaliman dari Surakarta serta tak ketinggalan Langen Beksa
Tumenggung Wiroguno (1976) yang digarapnya sendiri.
***
MENARI dan nembang-lah secara benar dan tertib terlebih
dahulu untuk kemudian baru belajar tarian dan tetembangan-nya. Pedagogi inilah
yang telah membawa S Kardjono tekun dan teliti memperhatikan setiap detail
gerak tari Jawa klasik gaya Yogyakarta yang menjadi
keahliannya kini. Taruhlah itu, misalnya, caranya mengajari
para penari pria pemula untuk memperhatikan teknik tari jomplangan, yakni
ketika dua kaki tidak boleh menapak bersama di tanah selain hanya saat berhenti
menari.
"Ini gerakan sulit, karena membutuhkan keseimbangan
tubuh yang sempurna. Inilah satu unsur gerak yang membedakan tarian Jawa gaya
Yogyakarta dibanding gaya Surakarta," ungkap putra bungsu dari pasangan
Sastroprandjono-Cokro Lukito ini.
Di usianya yang sudah tak muda lagi, Surjadi Kardjono masih
tetap aktif menggiatkan kesenian tari-menari dan nembang. Di Sanggar Surya
Kirana yang menempati sejumlah ruangan di gedung LIA Jl Pramuka Raya, Jakarta
Pusat ini tak kurang 40 murid tari dan tembang bisa mendapatkan bimbingan
langsung darinya.
"Umur boleh terus bertambah, namun kecintaan saya akan
seni tari dan kekayaan seni suaranya jangan sampai pudar. Kepada anak-anak muda
Ibu Kota yang menggemari tarian dan tetembangan inilah, harapan itu akan saya
serahkan," tuturnya. (Mathias Hariyadi)
Sumber :
Foto: S Kardjono
Kompas/Mathias Hariyadi
KOMPAS - Selasa, 24 Oct 2000
Halaman: 12
Penulis: Hariyadi, Mathias