Meski bukan tren yang baik, tidak bisa dipungkiri
bahwa poligami sedang ramai diikuti oleh sejumlah pria di Indonesia. Mencari
celah atas ketidakmampuan manusia dalam menafsirkan sabda Tuhan membuat para
pria merasa berhak untuk memiliki istri lebih dari satu. Lucunya, dalam sebuah
epos perwayangan, yang mungkin tercipta jauh sebelum istilah poligami, ada
sesosok wanita yang tidak puas hanya memiliki satu pendamping. Sarpakenaka
telah memiliki dua suami dan seorang kekasih, tetap ingin bercumbu dengan Rama
dan adiknya, Laksmana. Tokoh dari kisah Ramayana inilah yang melatarbelakangi
dramatari “Kidung Tresna Sekar Alengka” yang diproduksi oleh Sanggar Surya
Kirana.
Saya beruntung, selain memiliki kesempatan untuk
melihat para pelakon berlatih, saya pun dapat menonton langsung pagelaran
tersebut. Bahkan saya sempat berbincang dengan sang sutradara Ibu Tatik Kartini
untuk memahami lebih dalam alasan dipilihnya epos mengenai Sarpakenaka ini
untuk “Kidung Tresna Sekar Alengka.”
Bisa diceritakan terlebih dahulu,
kah, sepak terjang Ibu Tatik Kartini di seni panggung?
Saya sudah cukup sering menjadi sutradara pementasan
skala kecil, sudah sejak tahun 90-an. Tahun 1997 saya sudah mencoba untuk ikut
serta di Festival Mahabharata. Sedangkan untuk pagelaran yang cukup besar
dengan pendukung di atas 30 orang, baru saya coba garap di tahun 2013. Semenjak
itu, setiap tahun saya terus dipercaya untuk menyutradarainya.
Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk memproduksi “Kidung Tresna Sekar
Alengka”?
Produksi kali ini termasuk yang paling cepat karena
tadinya dramatari ini kami persiapkan untuk ditampilkan di perwayangan. Tetapi
karena satu dan lain hal, kami mengurungkan niat tersebut. Untung sekali, tidak
lama setelahnya pihak Taman Mini Indonesia Indah menawarkan untuk memasukan
produksi ini ke agenda Teater Tradisi. Kami pun menyambut baik ajakan tersebut
karena kami otomatis mendapatkan fasilitas tempat pertunjukan, gamelan, sound
system, dan lampu. Jadi, kami sangat terbantu banyak secara produksi, saya
hanya perlu memikirkan komponen pendukung, seperti bagaimana setiap individu
yang terlibat tetap bisa memiliki pemasukan atau cara mereka mencapai tempat
latihan.
Untuk dramatari “Kidung Tresna Sekar Alengka” kali ini, siapa yang memilih
cerita latarnya? Apa alasannya?
Selalu saya yang memilih cerita yang untuk
ditampilkan, begitu juga pada tahun ini. Alasannya karena saya melihat fenomena
di mana banyak sekali dekadensi di perempuan. Penurunan moral ini artinya
perempuan sudah tidak bisa lagi dianggap perempuan. Mereka hanya wanita. Antara
perempuan dan wanita, menurut saya lebih tinggi derajat perempuan. Karena
perempuan memiliki segala tingkah laku, budi pekerti, dan sebagainya
menyimbolkan seorang perempuan. Sedangkan seorang wanita belum tentu adalah
perempuan karena perilaku-perilaku negatif. Apalagi di jaman sekarang saya
melihat di sekeliling banyak sekali perempuan yang mapan secara finansial
memiliki pasangan dan hidup bersama pasangannya tersebut tanpa ikatan
pernikahan. Lucunya apa yang ada di jamannya Sarpakenaka di epos Ramayana ada
juga di dunia sekarang. Jadi, kalau saya kaitkan dengan cerita ini, semua
perbuatan itu ada imbalannya. Ada penebusannya. Saya ingin menjadikan karya
saya kali ini sebagai pengingat. Semoga pesan ini dapat ditangkap oleh para penonton.
Teks: Rianti Dwiastuti/ Foto: Melody Amadea (Profil
Ibu Tatik Kartini) & Syifa Fachrunissa (Dramatari “Kidung Tresna Sekar
Alengka”)
Sumber : http://old.clara-indonesia.com/peringatan-atau-pengingat/