Semuan Joged Mataram ”Pastha Anglari Pasthi” oleh Sanggar
Tari Surya Kirana di Bentara Budaya Jakarta, Kamis (19/10). Sebelum pementasan,
juga diadakan sarasehan Tari Golek Menak, pengembangan tari klasik gaya
Yogyakarta ciptaan Sultan HB IX yang terinspirasi gerakan wayang golek kayu.
Tari Golek Menak, tari klasik Yogyakarta karya Sultan
Hamengku Buwono IX ”menurun” dalam sendratari ”Pastha Anglari Pasthi” yang
dipentaskan oleh Sanggar Tari Surya Kirana di Bentara Budaya Jakarta pada Kamis
(19/10) malam. Di ”belantara modernitas” hari ini, karya ini mengingatkan bahwa
seorang pemimpin, Sultan Hamengku Buwono, mewariskan karya yang menginsiprasi
lahirnya karya-karya baru. Sanggar Surya Kirana pimpinan Tatik Kartini
Mustikahari meneruskan apa yang dirintis mendiang S Kardjono dalam
mengembangkan tari Golek Menak, termasuk karya HB IX. Tatik dan kawan-kawan
menafsir ulang wayang wong Golek Menak dalam bentuk sendratari. Tatik
mempertahankan alur cerita dan karakter yang digunakan HB IX. Beberapa motif
gerak diambil dari apa yang pernah dikembangkan S Kardjono. Ada persambungan
”napas” karya lama untuk menghadirkan tari klasik ini hadir hari ini.
Identitas budaya
Joget menak membuktikan kemampuan orang Indonesia dalam
menginkulturasi budaya dari luar, dan kemudian menginternalisasikannya ke
lingkungan budaya baru. Hal itu disampaikan Bambang Pudjasworo, penari dan
dosen Institut Seni Indonesia (ISI), Yogyakarta, dalam Sarasehan Tari Golek
Menak yang digelar di BBJ sebelum pentas Golek Menak. ”Proses pembudayaan ini
membuka kemungkinan yang lebih luas bagi cerita Menak untuk ditafsir ulang dan
disesuaikan dengan lingkungan budaya, pandangan hidup, dan kepercayaan
setempat,” kata Bambang. Ia memberi contoh, tokoh Amir Hamzah yang di Jawa
menjadi Amir Ambyah; Ammar ibn Omayya menjadi Umarmaya, dan Buzuruch Mihr
menjadi Betal Jemur. Cerita Menak berasal dari Persia, yaitu dari kitab Qissa I
Emir Hamza pada masa pemerintahan Sultan Harun Al Rasyid tahun 766-908. Cerita
dibawa pedagang Persia dan menyebar ke Asia Tenggara, dan berpengaruh ke sastra
Melayu. Mengutip Serat Sastramiruda, Bambang menyebutkan, dalam cerita Menak
kemudian menginspirasi Sunan Kudus untuk menciptakan wayang golek menak pada
1506. Tari Golek Menak bisa dikatakan sebagai jejak budaya peninggalan Sultan
Hamengku Buwono (HB) IX. Seperti raja-raja Keraton Yogyakarta sebelumnya, HB IX
juga menginginkan semacam identitas budaya sebagai penanda pemerintahannya.
Sultan HB VIII, misalnya, melakukan penyempurnaan pada garap wayang wong.
”Identitas budaya yang menjadi penanda bagi Sultan Hamengku Buwono IX adalah
wayang Menak atau wayang wong Golek Menak,” kata Bambang. HB IX menciptakan
Golek Menak pada tahun 1941 dan disempurnakan pada 1986. Selama sekitar 2
tahun, HB IX melibatkan seniman, akademisi untuk menyempurnakan gerak tari,
gending, kostum, dan karakterisasi peran. Penyempurnaan karya rampung dan
dipentaskan di Bangsal Kepatihan Yogyakarta pada tahun 1989. Namun, HB IX belum
sempat menyaksikan karya penyempurnaan tersebut karena wafat pada 1988. Bambang
mengakui, Golek Menak saat ini sudah langka dipentaskan dalam versi utuh. Yang
muncul hanyalah petilan. Penari Nungki Kusumastuti menganggap karya HB IX
sebagai tari baru yang berangkat dari karya lama. Pada masanya mungkin dianggap
kontemporer. Bisakah Golek Menak menjadi inspirasi tari modern?” katanya.
Pentas Sanggar Surya Kirana merupakan bagian dari upaya itu.
Sumber : Kompas, Cetakan 20 Oktober 2017
https://kompas.id/baca/dikbud/2017/10/20/jejak-budaya-sang-pemimpin/