Begawan Kraton Surakarta menggubah ceritanya. Sultan
Hamengkubuwono IX menciptakan geraknya. Kisah percintaan dua orang dari dua
kerajaan yang sedang berperang tersuguh apik di panggung.
Oleh Silvia Galikano
Kelaswara (Ida Riyani) ingin terus bersama kekasihnya,
Wong Agung Jayengrana (RM Kristiadi) penguasa Kerajaan Koparman. Baru saja
Kelaswara menyingkirkan pesaingnya dalam cinta segitiga, putri asal Tiongkok
Dewi Adaninggar.
Tasikwulan (RA Putria Retno Pudyastuti Candradewi)
dari Kelan datang ke pesanggrahan, mengingatkan Kelaswara akan tugas utamanya
sebagai senopati Kelan, kerajaan yang sedang berperang dengan Koparman. Dia
kemudian pergi melaporkan Kelaswara ke Raja Kelan.
Dua istri Jayengrana, Sudarwati (Yani Wulandari) dan
Sirtupelaheli (Eny Yanuartin), memuncak kemarahannya karena Kelaswara merebut
suami mereka dan keduanya menyerang Kelaswara dengan alasan membalas kematian
Adaninggar. Kelaswara dan Jayengrana tidak membalas, malah memohon maaf dan menyerahkan
hidup dan mati mereka di tangan Sudarwerti dan Sirtupelaheli.
Sebelum Tasikwulan tiba di istana Kelan, patih Gajah
Biher dan Gajar Bahur, sudah lebih dahulumenghadap Prabu Kelan (Nur Wijayanto),
melaporkan Kelaswara dan Jayengrana saling jatuh cinta. Prabu Kelan marah,
perang pun sesaat dihentikan. Namun Gajah Biher dan Gajah Bahur menenangkan dan
menjelaskan Kerajaan Kelan justru bisa sebagai pemenang perang jika
bermenantukan Jayengrana.
Singkat cerita, Kelaswara dan Jayengrana menikah serestu
Prabu Kelan dan dua istri Jayengrana. Hingga tiba pada ritual sungkem ke Prabu
Kelan yang merupakan bentuk penghormatan sekaligus tunduk kepada orangtua,
langkah Jayengrana terhenti dalam keraguan antara cinta dan kewibawaan.
Lakon Kelaswara Jayengtresna adalah tontonan wayang
orang “langka”, terlebih bagi masyarakat Jakarta. Disebutnya wayang orang
Menak. Ceritanya bukan dicuplik dari epos Mahabharata atau Ramayana seperti
yang umumnya dipakai, melainkan dari karya pujangga Keraton Surakarta, RNg. Yosodipuro,
yang banyak menulis dan menerjemahkan karya sastra pada masa Pakubuwono IV
(memerintah pada 1788-1821).
Sanggar Surya Kirana mementaskannya di Teater Wayang
Indonesia, Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta, 21 September 2014, dengan Tatik
Kartini Mustikahari sebagai sutradara. Keseluruhan ada 36 pemain yang tampil di
panggung; hanya dua yang dari Yogyakarta, yakni RM Kristiadi dan RA Putria
Dewi, sedangkan selebihnya dari Jakarta.
Kelaswara Jayengtresna adalah kelanjutan cerita yang
pernah ditampilkan Sanggar Surya Kirana pada tahun lalu, Pastha Anglari Pasthi:
Tragedi Asmara Adaninggar-Kelaswara, juga dipentaskan di Teater Wayang
Indonesia.
RNg Yosodipuro menulis kisah Menak yang merupakan
penafsiran ulang Hikayat Amir Hamzah yang berasal dari Persia dan Arab.
Kisahnya tentang pejuang pada masa awal Islam yang bersama Nabi Muhammad ikut
menyebarkan Islam. Amir Hamzah mangkat dalam sebuah peperangan di kaki bukit
Uhud dekat Madinah.
Hikayat ini diterjemahkan juga ke dalam bahasa Sunda,
Bugis, dan Jawa. Versi bahasa Jawa digubah RNg Yosodipuro dengan tokoh utama
Amir Ambyah/ Wong Agung Jayengrana. Ke dalamnya diselipkan roman percintaan,
dan dikenal dengan sebutan cerita Menak.
Pada 1941, Sri Sultan Hamengku Buwono IX (1912-1988)
memanggil para pakar tari yang diketuai KRT Purbaningrat untuk mengadopsi gerak
wayang golek ke dalam bentuk tari. Setelah melalui proses penciptaan dan
latihan, tari Menak pertama dipertontonkan di Kraton pada 1943 dalam peringatan
ulang tahun Sultan, dan terus disempurnakan hingga dibuat pembakuan gerak pada
1988, semua atas sepengetahuan Sultan. Hasilnya adalah gerak tari dinamis,
berbeda dari gerak tari Yogyakarta umumnya yang halus.
Kekhasan tari Menak pada gerak patah-patah di bahu,
siku, dan pergelangan tangan seperti halnya gerakan wayang golek; gerak pada
lambung; dan gerak kaki yang diringankan. Sultan juga memasukkan unsur pencak
silat pada adegan perang. Semua berdasar pada gerak klasik Yogyakarta.
Busana penari Menak cenderung tertutup dibanding
penari Yogyakarta & Surakarta pada umumnya karena semangat penyebaran agama
Islam. Seluruh karakternya mengenakan baju berlengan panjang dilengkapi celana
cindhe serta aksesoris jamang (hiasan kepala), lancur (bulu), sumping, kelat
bahu (gelang tangan), dan kalung susun. Wayang menak juga punya cengkok berbeda
dibanding wayang orang Yogya dan menggunakan bahasa bagongan.
Untuk pertunjukan wayang Menak di Jakarta, Tatik
Kartini mengemasnya dengan beberapa inovasi dan pengembangan. “Saya tidak
menggunakan eksklusif gerak tari Menak. Geraknya disesuaikan dengan kemampuan
penari dan kebutuhan penonton Jakarta,” ujar Tatik usai pementasan.
Walau pementasan berlangsung dalam bahasa Jawa,
penonton Jakarta dipermudah untuk memahami adegan melalui sinopsis per babak
dalam bahasa Indonesia yang dipampangkan di layar samping panggung. Adegan demi
adegan dibuat secara cermat, tak ada yang kedodoran, dan berjalan padat dalam
durasi dua jam. Semua serbapas, indahnya dapat ditangkap, bahkan oleh bukan
penutur bahasa Jawa, dan jauh dari praduga bahwa wayang orang selalu berkait
dengan bosan, mengantuk, dan ngga ngerti.
Terlebih ketika dalang Nanang Hape melintasi panggung,
menembangkan lirik cantik penutup lakon, tentang cinta yang tak lekang oleh
zaman dan selalu berulang dengan permasalahannya.
Cinta tidak akan kurang jalan// halus melebihi debu//
lembut melebihi air
Lihatlah burung manyar// menganyam hari-hari//
menjahit suka-duka// memetik buah kisah// maka tetap gerakkan bajak dan mari
kita tanam pohon cinta.
***
Dimuat di Majalah Detik edisi 148, 29 September-5
Oktober 2014