Suara simbal tiba-tiba terdengar sangat keras dan mengagetkan di tengah pementasan Semuan Joged Mataram Pastha Anglari Pasthi di Bentara Budaya Jakarta, Kamis (19/10). Para pengunjung kaget, lalu tertawa gelak, dan ada yang berkomentar, ”Biar tidak mengantuk!” ”Suara simbal itu bukan untuk mengagetkan penonton. Itu simbol kebangkitan amarah Adaninggar ketika mengetahui Jayengrono tidak kembali ke kerajaan, tetapi bermalam di Kerajaan Kelan dan tidur bersama Kelaswara, putri Raja Kelan,” ujar Tatik Kartini Mustikahari, penata tari Semuan Joged Mataram Pastha Anglari Pasthi dari Sanggar Tari Surya Kirana, Jakarta. Bentara Budaya Jakarta mengemas dramatari Jawa itu sebagai pementasan Golek Menak dalam Belantara Modernitas. Sebelum pementasan, digelar sarasehan dengan narasumber Bambang Pudjasworo, dosen Seni Tari Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta dan pegiat seni Nungki Kusumastuti.
Menurut Bambang, Golek Menak dalam sejarahnya dikembangkan Raja
Keraton Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) IX, sejak dinobatkan pada
tahun 1941. Pada masa itu Yogyakarta maupun wilayah lainnya di Jawa Tengah dan
Jawa Timur memiliki era kejayaan seni wayang wong atau wayang orang. ”Sri
Sultan HB VII berhasil membentuk struktur joget wayang wong. Dilanjutkan, Sri
Sultan HB VIII berhasil mengembangkan kostum wayang wong. Jadilah, di era
kepemimpinan Sri Sultan HB IX sebagai masa keemasan wayang wong,” ujar Bambang.
Penobatan Sri Sultan HB IX di era keemasan wayang wong justru mendorong proses
pencarian identitas kultural baru. HB IX kemudian meramu seni tari wayang wong
dengan gerak boneka kayu atau wayang golek sunda. Gerak tari wayang wong dan
golek sunda juga dipadu dengan gaya pencak silat dari Minang, Sumatera Barat.
Menurut Tatik Kartini, masih ada lagi elemen gerak tarian Golek Menak lainnya,
yaitu gerak tari dari teknik wushu atau silat dari China. ”Menak artinya
sebagai bangsawan. Ketika itu jadilah tari yang diciptakan Sri Sultan HB IX
sebagai tari Golek Menak,” kata Bambang.
Proses penciptaan karya seni tari
Golek Menak oleh Sri Sultan HB IX pada 1941 dirasakan belum sempurna. Saat itu,
terjadi pergolakan politik menuju era Semuan Joged Mataram Pastha Anglari
Pasthi yang dimainkan Sanggar Tari Surya Kirana, di Bentara Budaya Jakarta,
Kamis (19/10). kemerdekaan bangsa. Sri Sultan HB IX kemudian turut berkiprah
dalam memperjuangkan kemerdekaan, hingga terus berperan sampai
pascakemerdekaan. Setelah menjalani berbagai tugas negara, di tahun 1986, Sri
Sultan berniat menyempurnakan tari Golek Menak yang pernah ia ciptakan 45 tahun
silam. Dua tahun berikutnya, pada 1988, Sri Sultan HB IX wafat. Tari Golek
Menak hasil penyempurnaan Sri Sultan HB IX berhasil dipentaskan pada 1989
sebagai dramatari Wayang Wong Menak dengan lakon Kelaswara Palakrama (Kelaswara
Menikah) di Bangsal Kepatihan Yogyakarta.
Hikayat Amir Hamzah
Dramatari Golek Menak memiliki latar cerita Menak. Cerita
Menak bersumber dari wiraca- rita Melayu berupa Hikayat Amir Hamzah. Hikayat
Amir Hamzah terbentuk dari karya sastra Persia dengan kitab Qissa I Emr Hamza.
Kitab ini ditulis pada masa pemerintahan Persia Sultan Harun Ar Rasyid
(766-809). Para pedagang Muslim Persia kemudian membawa dan menyebarluaskan
kitab tersebut hingga kawasan Asia Tenggara. Di Asia Tenggara terbentuklah
Hikayat Amir Hamzah bersumber dari kitab tersebut. Dari Hikayat Amir Hamzah
terbentuklah cerita Menak yang tersebar di Jawa, Bali, Lombok, hingga Makassar.
Menurut Bambang, transliterasi Hikayat Amir Hamzah di Jawa berlangsung pada
tahun 1715 oleh Carik Narawita atas perintah Kanjeng Ratu Mas Balitar. Ia permaisuri
Susuhunan Pakubuwana I dari Kartasura. Pada tahun 1787, karya Carik Narawita
direproduksi Raden Ngabehi Yasadipura I, pujangga Keraton Surakarta. Kemudian
naskah itu dikenal sebagai Serat Menak Yasadipuran. Tatik Kartini
mengungkapkan, Serat Menak Yasadipuran ini yang digunakan sebagai sumber cerita
dramatari Pastha Anglacari Pasthi di Bentara Budaya Jakarta. Inti ceritanya,
kecemburuan Adininggar terhadap Kelaswara yang mendapatkan cinta Jayengrono,
Raja Kerajaan Koparman. ”Ketika dirunut dari Hikayat Amir Hamzah, nama
Jayengrono itu mengisahkan tokoh Amir Hamzah sendiri. Di dalam hikayat
tersebut, visi Amir Hamzah adalah menyebarluaskan agama Islam. Di dalam Serat
Menak, agama itu disebut sebagai agama suci,” kata Tatik.
Di dalam Serat Menak
dikisahkan Jayengrono menaklukkan kerajaan-kerajaan lain dan menyebarluaskan
ajaran agama suci. Suatu ketika, Kerajaan Koparman diserang Raja Jamum yang
dibantu dua putri raksesi, Mardowo dan Mardawi. Serangan itu cukup merepotkan.
Tiba-tiba Kerajaan Koparman mendapat bantuan Adininggar, putri sakti dari
Kerajaan Tartaripuro. Raja Jamum dengan dua putri raksesinya dapat dikalahkan.
Sejak saat itu, Adininggar tinggal bersama istri-istri Jayengrono. ”Adininggar
itu sering menyebut dirinya calon istri Wong Agung Jayengrono, ayah dari
Jayengrono,” kata Tatik. Adininggar pernah pula menyatakan rasa cintanya kepada
Jayengrono. Jayengrono pun menolaknya. Ia menganggap Adininggar sebagai ibunya.
Hingga suatu ketika, Jayengrono berniat menaklukkan Kerajaan Kelan. Adininggar
tidak turut berperang. Kerajaan Kelan pun berhasil ditaklukkan. Namun,
Jayengrono tidak segera kembali ke kerajaan. Adininggar berusaha mencari tahu
keberadaan Jayengrono. Hingga Adininggar mendapatkan informasi Jayengrono
tinggal di Kerajaan Kelan dan tidur bersama Kelaswara, putri Raja Kelan.
Kecemburuan Adininggar memuncak. Ia berniat membunuh Kelaswara. Terjadilah
pertempuran di antara kedua perempuan ini. Kelaswara sempat terpojok. Ia pun
berlari mengambil tombak milik Jayengrono dan berhasil mengalahkan Adininggar.
Adininggar terbunuh. Ia mengembuskan napas terakhir di pelukan Jayengrono.
Pentas dramatari pun selesai. Tepuk tangan para penonton memecah suasana tragis
itu.
Sumber : Kompas, Cetakan 22 Oktober 2017
https://kompas.id/baca/hiburan/2017/10/22/dramatari-golek-menak/