Jakarta, CNN Indonesia -- Sepasang penari, pria dan
wanita, melenggok mesra dalam gerakan yang lembut. Gamelan mengiringi gerakan
mengalun dalam irama nan syahdu. Sekilas orang boleh menyangka mereka sedang
menarikan tari Jawa klasik tentang sepasang kekasih yang sedang kasmaran.
Tapi lihatlah mendekat, banyak hal-hal unik yang
membedakan pasangan penari ini dengan tarian Jawa klasik lainnya. Lain pula
dengan kisah percintaan dalam cerita Ramayana.
Tangan sang penari tidak bergerak sampai jemari. Gerak
lengan hingga pergelangan sama halnya dengan tarian Jawa klasik pada umumnya.
Namun jemari sang penari bergerak lebih kaku. Empat jadi rapat dan lurus, ibu
jadi membentuk huruf L nan tegas.
Inilah sendratari golek menak Kelaswara Jayengtresna
yang ditampilkan oleh Sanggar Surya Kirana di Teater Wayang Indonesia, Gedung
Wayang Kautaman Taman Mini Indonesia Indah, Pondok Gede, Jakarta, Minggu
(21/9).
Tatik Kartini Mustikahari, sutradara pementasan ini
kepada CNN Indonesia mengatakan sengaja memilih drama menak dengan kisah ini
karena termasuk cerita yang semakin langka dipentaskan.
"Awalnya setahun lalu kami mau meminjam tempat
ini untuk pementasan karya saya yang bukan wayang," kata Tatik mengenang.
Namun kemudian dia ditantang oleh pengelola Teater
Wayang untuk membuat pementasan wayang. "Kalau Ramayana atau Mahabarata
orang sudah tahu, tapi tidak demikian dengan wayang menak terutama di
Jakarta," kata Tatik.
Sukses dengan pementasan Adaninggar Kelaswara tahun
lalu, tahun ini Tatik bersama Sanggar Surya Kirana membawakan kisah cinta
Kelaswara Jayengtresna ini.
Kisah cinta berakhir bahagia
Dikisahkan Putri Kelaswara berangkat ke medan perang
sebagai panglima atas perintah Raja Kelanjajali dari Kerajaan Kelan yang tak
lain adalah ayahandanya sendiri.
Bukan panah dan tombak yang kemudian membuat Kelaswara
luluh di medan laga. Tapi tak lain adalah panah cinta Tiyang Agung
Jayengtresna, yang seharusnya menjadi musuhnya. Sejoli ini akhirnya sepakat
mengikat janji.
Tantangan datang dari Raja Kelanjajali dan saudara
Kelaswara, Tasik Wulan, yang tak terima Kelaswara menjalin kasih dengan
Jayengtresna.
Di keputren Kelaswara pertarungan adu kekuatan antara
Raja Kelanjajali dan Jayengtresna terjadi. Raja Kelanjajali tersungkur kalah
dan mengakui kedigdayaan Sang Raja dari negeri seberang. Kelanjajali akhirnya
merestui dan merelakan bangsanya mengikuti agama suci yang dibawa Jayengtresna.
Layaknya sebuah drama romantis berakhir bahagia, kisah
Kelaswara Jayengtresna berakhir bahagia, dengan cintalah sebagai pemenangnya.
Tarian peninggalan Sultan Hamenku Buwono IX
Indonesia sangat kaya akan jenis wayang. Mulai dari
potehi, wayang kulit, wayang beber, wayang golek, hingga wayang suket. Sejauh
ini yang banyak dikenal orang memang baru yang mengangkat kisah Ramayana dan
Mahabarata.
"Nah wayang golek menak ini secara khusus
mengambil kisah dari Hikayat Amir Hamzah yang disadur oleh seniman Solo, Raden
Ngabehi Yosodipuro," kata Tatik. Dari buku saduran karya Amir Hamzah alias
Wong Agung Jayengrono itu kemudian Sultan Hamengku Buwono IX menciptakan
gerakan tarian golek menak. Gerakan karya Sang Sultan kemudian oleh para
seniman tari dibakukan pada tahun 1965.
"Sultah Hamengku Buwono IX saat membuat gerakan
ini terilhami oleh gerak wayang golek Sunda. Itulah mengapa jika dilihat
gerakan penari, seperti tangan dan leher terlihat seperti patah-patah,"
kata Tatik. Namun Sultan Hamengku Buwono IX juga mengadopsi beberapa gerakan
dari silat Sunda dan silat Minang untuk adegan pertarungan.
"Sementara untuk pertunjukan di Jakarta ini saya
juga menyesuaikan dengan kondisi penari di Jakarta. Jadi bisa dibilang ini
adalah tari menak yang inovatif," kata Tatik.
Diakui sebagai cabang dari tari klasik Yogyakarta,
golek menak memiliki kekhasan yang terpancar tak hanya dari alur cerita dan
gerakan. Tapi juga pada penokohan dan tata busana.
Alur cerita golek menak umumnya mengangkat kisah-kisah
kepahlawanan dalam proses pengislaman di sejumlah wilayah yang diselingi dengan
cerita percintaan. "Intinya adalah cerita-cerita tentang penyebaran agama
Islam yang disebut dalam cerita sebagai agama suci," kata Tati.
Nafas Islam dalam cerita ini juga mengejewantah dalam
berbagai detail dalam pertunjukan. Misalnya tembang-tembang pembuka yang berisi
Salawat Nabi dan Ilir-ilir yang merupakan gubahan Sunan Kali Jaga.
Kostum para pemain juga terlihat lebih tertutup.
Seluruh tokoh pemeran menggunakan baju atau kebaya berlengan panjang dari bahan
beludru atau satin dengan sulaman benang emas.
Jamang atau hiasan kepala para penari pada beberapa
pemeran juga tampak pengaruh Asia Tengah dan Timur Tengah. Yakni semacam topi
yang digunakan para penari sufi di Turki.
Sumber : https://www.cnnindonesia.com/hiburan/20140922144228-241-3956/cabang-wayang-klasik-yang-jarang-dipentaskan