Kisah ini berawal saat Adaninggar memperoleh penglihatan,
bahwa dirinya akan berjodoh dengan seorang raja agung bernama Jayengrana.
Sedemikian hebat gelora asmara ini, hingga membuat tekad meninggalkan negeri
Cina guna mencari sang pujaan hati. Siapakah Jayengrana, hingga seorang puteri
cantik sanggup menyeberangi lautan demi mendapatkan cintanya? Ia merupakan
seorang raja dari Kerajaan Koparman. Ketampanan, ketenangan dan pancaran
kewibawaannya akan membuat wanita manapun bertekuk lutut di hadapannya. Singkat
cerita bertemulah mereka di saat Adaninggar secara kebetulan menolong
Jayengrana dari cengkeraman raksasa Jamum. Tak terelakkan Adaninggar diliputi
suka cita telah bertemu dengan pujaan hatinya. Namun kenyataan bahwa Jayengrana
telah memiliki dua orang istri sejenak membuat hati Adaninggar gundah. Tetapi
hal itu tidaklah menyurutkan tekad untuk mengabdikan jiwa raganya kepada raja
Koparman. Jayengrana pun menerima dengan senang hati, karena ia bermaksud
menaklukkan Kerajaan Kelan yang dikenal sangat kuat prajurit wanitanya. Dan
dengan Adaninggar bersamanya, bertambahlah kekuatan pasukan Koparman. Maka berangkatlah
Jayengrana memimpin pasukannya untuk menaklukkan Kerajaan Kelan.
Wayang Orang Golek Menak,
Karya Inspiratif HB IX Kembali Ditampilkan Dengan Sangat Menawan Dalam Tajuk Tribute to S. Kardjono
Ditulis oleh : Hendricus Widhi
Pernah melihat pertunjukan wayang golek kayu? Demikian indah
dan hidup saat dimainkan oleh sang dhalang. Itu pula yang dirasakan pertama
kali oleh Sri Sultan HB IX saat melihat pertunjukan wayang golek sekitar tahun
1940an. Muncul dalam benak beliau, rasanya akan sangat menarik jika dibawakan
oleh orang sesungguhnya. Maka timbullah ide untuk mengadopsi gerak wayang golek
ke dalam bentuk tari, terciptalah tari golek menak yang tetap berpegang pada
pakem tari klasik gaya Yogyakarta atau joged Mataram.
![]() |
Jayengrana dan Kelaswara |
Dalam perjalanannya, tari golek menak ini banyak mengalami
perkembangan antara lain dengan dimasukkannya unsur gerak pencak silat. Dan
untuk saat ini, peluang untuk menggarap tari golek menak ini masih sangat luas.
Dengan melihat keunikan dari tarian ini, sangat disayangkan jika tidak dapat
dinikmati oleh masyarakat pecinta seni. Dan pada hari Minggu, 22 September
2013, tersajikan pentas Drama Tari Golek Menak dengan judul "Pastha
Anglari Pasthi" bertempat di Theater Kautaman, Gedung Pewayangan Taman Mini
Indonesia Indah. Serasa dahaga akan tontonan seni tradisi terobati dengan
pergelaran yang berkualitas. Dipersembahkan oleh Sanggar Surya Kirana dengan
tajuk Tribute to S. Kardjono. S. Kardjono merupakan seniman tari klasik gaya
Yogyakarta yang telah hijrah ke Jakarta, dan ingin mengembangkan Joged Mataram
di ranah ibukota. Dengan tujuan demikian, beliau mendirikan sanggar tari Surya
Kirana. Karya-karyanya seperti: Rara Mendut Pranacitra, Klono Panca Tunggal,
Samgita Pancasona (1969), Semar Boyong (1969), Ngrenaswara (1972), Wayang Golek
Menak “Kelaswara Palakrama” dan “Kelaswara Senapati” (1973), Langen Mandra
Wanara : “Sugriwa Subali” (1975), Wiroguno (1976), Joko Penjaring (1977), Roro
Jonggrang (1977), Ronggolawe (1979), Langen Mandra Wanara : “Änggisrono Teliksandi”
(1990) dan Saijah dan Adinda. Selepas beliau mangkat pada tahun 2004,
eksistensi Surya Kirana juga semakin tenggelam. Namun berkat perjuangan
murid-muridnya, salah satunya Tatik Kartini Mustikahari, Surya Kirana dapat
bangkit kembali. Dan pergelaran Drama Tari Golek Menak ini dijadikan sebagai
tonggak kebangkitan sanggar Surya Kirana, maupun tari klasik gaya Yogyakarta
secara umum. Drama tari ini mengisahkan tentang percintaan segitiga antara
Prabu Jayengrana, seorang raja agung dari Kerajaan Koparman, dengan Kelaswara,
putri kerajaan Kelan, dan Adaninggar, seorang putri dari negara Tartaripura di
negeri Cina.
Kerajaan Kelan yang telah mendengar pasukan Koparman
mendekati wilayahnya sedang mempersiapkan diri. Prabu Kelanjajali menunjuk
putrinya, Kelaswara, menjadi senopati perang memimpin pasukan Kelan. Kelaswara,
seorang putri nan cantik jelita namun sangat tangkas dalam olah kanuragan.
Kedigdayaannya tak terbantahkan, dua ekor gajahpun sanggup ia angkat dengan
kedua tangannya. Dan akhirnya pertempuranpun terjadi, pasukan Koparman terbantu
dengan kehadiran Adaninggar yang memukul mundur prajurit wanita Kelan. Namun di
sisi lain, prajurit Koparman dibuat kewalahan menghadapi keganasan Kelaswara
sang senopati Kelan. Dikepung dari berbagai penjuru, Kelaswara dapat
mengalahkan musuh-musuhnya. Di saat Kelaswara sibuk menghadapi pasukan
Koparman, datanglah Jayengrana dengan pancaran pesona kewibawaannya. Seketika
itu luluh hati Kelaswara. Hilang sudah keberingasannya, tak sanggup rasanya
menghadapi raja agung yang penuh pesona dalam ketenangannya. Yang tersisa
hanyalah perasaan kagum dan cinta yang menyeruak, membuat Kelaswara menyerah
dalam pelukan Jayengrana.
Perang telah surut, namun sepasang manusia itu tetap berada
dalam kobaran api. Bukan api dendam ataupun ingin membunuh, tetapi api asmara
yang bergelora dalam hati masing-masing. Sepasang manusia itu tak lain adalah
Jayengrana dan Kelaswara, tengah tenggelam dalam perasaan cinta mereka. Memadu
kasih dengan demikian mesra, hingga tak menyadari ada sepasang mata dengan
sinar amarah, benci dan sakit hati sedang mengamati. Sepasang mata itu milik
Adaninggar. Hancur luluh lantak sudah hatinya menemui kenyataan yang sedang
dilihat, bak sebuah bahtera yang hancur menerpa karang yang kokoh. Samudra
telah sanggup ia arungi demi cinta dan telah diserahkan jiwa raganya untuk
mengabdi pada sang pujaan hati, tapi inilah balasannya. Marah tak tertahan
lagi, perempuan itu atau ia sendiri yang musnah itulah tekadnya.
![]() |
Adaninggar |
Akhirnya Adaninggar memisahkan Kelaswara dari Jayengrana dan
mengajaknya bertempur untuk membuktikan siapa yang lebih pantas mendampingi
Jayengrana. Kelaswara yang tidak mengenal Adaninggar semula bersikap lunak,
namun begitu mengerti maksud Adaninggar untuk merebut Jayengrana dari sisinya,
tak sungkan lagi ia meladeni tantangan itu. Pertempuran pun terjadi dengan
dahsyatnya karena keduanya sangat mumpuni dalam olah kanuragan. Namun akhirnya
keperkasaan Kelaswara tak dapat ditandingi, dan Adaninggar terkena tusukan
tombak tepat di lambungnya. Pada saat itu datanglah Jayengrana menubruk tubuh
Adaninggar sebelum terjatuh. Melihat Adaninggar bersimbah darah dalam
pelukannya, marahlah Jayengrana pada Kelaswara. Tapi sebelum Jayengrana
bertindak lebih jauh, Adaninggar telah mencegahnya meski dalam kondisi yang
sekarat. Di dalam kondisi mendekati ajalnya, Adaninggar meminta agar Jayengrana
dapat memaafkan Kelaswara dan bahwa ia telah dengan ikhlas menerima jika
Kelaswara menjadi istri Jayengrana. Akhir cerita yang demikian haru
divisualisasikan dengan begitu sempurna hingga membuat penonton terbawa
emosinya ke dalam alur cerita. Kelaswara dan Adaninggar merupakan dua tokoh
yang disentralkan dalam drama tari ini. Penokohan keduanya dibuat setara oleh
sang sutradara, Tatik Kartini Mustikahari, dan dikemas dengan begitu apik.
Sehingga penonton dipaksa untuk memilih apakah lebih condong kepada Kelaswara
dengan ketangkasan dan kesaktiannya atau cenderung pada Adaninggar dengan
perjuangan dalam mewujudkan cintanya. Pada pementasan kali ini sangat terasa
terdapat banyak inovasi sang sutradara yang membuat drama tari menjadi semakin
hidup. Mulai dari gerak tari, komposisi penari hingga dramatisasi dan tata
panggung, sangat berbeda dengan pakem yang biasanya dianut dalam tari gaya
Yogyakarta. Hal ini menunjukkan bahwa sesungguhnya tari klasik gaya Yogyakarta
memiliki peluang yang sangat luas dalam pengembangannya, sehingga memberikan
warna tersendiri dalam setiap kesempatan pementasan. Dengan tergelarnya Drama
Tari Golek Menak “Pastha Anglari Pasthi” diharapkan dapat memacu perkembangan
tari klasik gaya Yogyakarta dalam kancah seni budaya nusantara. Sungguh sangat
ironis sebenarnya, melihat keindahan geraknya bahkan seni tari ini kalah pamor
dibandingkan saudaranya dari Surakarta yang berkembang demikian pesat. Mungkin
dikarenakan kultur budayanya yang masih kental dengan feodalisme hingga
perkembangan seni ini tidak dapat menyebar hingga seluruh lapisan masyarakat.
Benarkah seni tari gaya Yogyakarta hanya milik kaum bangsawan? Memang awal mula
terciptanya kesenian ini muncul di lingkungan kraton, namun yakinlah jika
penciptanya akan lebih bersyukur jika karya ciptaannya akan tetap lestari dan
dapat dinikmati banyak orang daripada hanya diagung-agungkan dan dinikmati di
lingkungan kraton saja. Pergelaran ini juga membuka harapan bahwa kesenian
tradisional masih mendapat perhatian dari masyarakat, terbukti dengan kehadiran
penonton yang nyaris memenuhi gedung pertunjukan. Melihat kenyataan ini semoga
dapat membuka pihak-pihak yang peduli terhadap seni tradisi, untuk dapat
membantu tumbuh kembangnya demi memberikan harmoni dalam seni pertunjukan yang
telah didominasi oleh kesenian modern.
Sumber : https://www.kompasiana.com/hendricuswidi/wayang-orang-golek-menak-karya-inspiratif-hb-ix-kembali-ditampilkan-dengan-sangat-menawan-dalam-tajuk-tribute-to-s-kardjono_55297f18f17e61ee79d623cf